isah Nelayan Pulau Pari Terancam Penjara karena Rp 25 Ribu


Mata Mustaghfirin alias Boby masih sembab. Raut wajahnya terlihat ketakutan saat duduk di kursi pesakitan, 5 Juni 2017 lalu dalam sidang perdana kasus pungutan liar yang diduga melibatkan dirinya. Nelayan Pulau Pari dituduh memungut uang tiket Rp 5.000 pada setiap wisatawan yang berkunjung di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu. 
Dalam kasus ini, Boby tidak sendiri. Dua temannya yang lain sesama nelayan juga dituduh melakukan praktik pungli. Namun dakwaan keduanya berbeda dengan Boby yang dituding sebagai bos mafia pungli. 
Tuntutan jaksa penuntut umum kala itu bahkan tidak tanggung-tanggung, pria 44 tahun ini didakwa dengan ancaman pidana dalam pasal 368 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana minimal sembilan tahun penjara.  
"Dari uang Rp25 ribu, terus sekarang teman kami di penjara, dituntut sampai sembilan tahun, keadilannya di mana," kata Farid (55) nelayan Pulau Pari yang hadir untuk memberi dukungan terhadap ketiga nelayan yang hari itu menjalani persidangan perdananya.  
Perkara yang dialami Boby, Mastono alias Baok, dan Bahrudin alias Edo memang bermula dari uang Rp25 ribu yang mereka pungut dari pengunjung pantai. Pungutan itu mereka anggap sebagai untuk masuk ke Pantai Pasir Perawan sebesar Rp5.000 per orang. Namun pungutan ini dinilai sebagai pungli karena tidak sesuai aturan. 
Sesaat setelah meminta uang tersebut, ketiganya ditangkap karena dianggap telah melakukan praktik pungli. 
Kasus kriminalisasi pada nelayan ini menurut Farid bukan yang pertama. Tahun 2014 lalu banyak nelayan yang mengalami intimidasi hingga pemenjaraan dengan kasus-kasus yang menurut dia tidak masuk akal.  
Seperti yang dialami oleh warga Pulau Pari yang lain, Dian Astuti. Dian tiba-tiba menerima somasi dari sebuah perusahaan di pulau tersebut untuk mengosongkan kediamannya. Padahal kala itu, suami Dian, Edi Priadi seorang nelayan Pulau Pari baru saja selesai menjalani hukumam empat bulan penjara setelah disangka menduduki secara ilegal lahan milik perusahaan itu.  
"Somasi dari perusahaan isinya saya harus mengosongkan rumah tersebut kalau tidak mengosongkan saya dikenakan pidana empat tahun penjara," kata Dian kepada CNNIndonesia.com. 
Somasi itu bukan yang pertama. Maret lalu, dia juga disomasi bahkan didatangi langsung oleh petugas keamanan perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik lahan.  
Tak berhenti disitu, Dian bahkan sempat ditawari uang oleh petugas kecamatan agar mau meninggalkan rumah dan tanahnya di Casino Online Sbobet
"Wakil kecamatan membawa uang Rp 20 juta dan saya diminta menandatangi surat bahwa saya terima uang. Saat itu saya takut masih menunggu suami saya keluar dari penjara," katanya. 
Suaminya, Edi, pada 2016 lalu dilaporkan ke polisi perusahaan arena dianggap menduduki lahan milik perusahaan. Padahal Edi merupakan salah satu warga pertama yang bermukim di Pulau Pari sejak tahun 1990



Aksi warga menolak kriminalisasi pada nelayan Pulau Pari. (CNN Indonesia/Safir Makki) Pulau itu secara sah merupakan tanah negara karena tidak ada yang memilikinya. Edi pun diperiksa polisi dan ditahan. Dalam persidangan, BPN Jakarta Utara menyatakan rumah Edi bukan termasuk tanah milik perusahaan. Namun tetap saja Edi dinyatakan melanggar Pasal 167 KUHP. 
Edi pun baru bebas menjalani hukuman pada Rabu pekan lalu. 
"Pak RW yang dari tahun 1980 sampai 1994 sudah menyatakan di atas materai dia tidak pernah melihat ada warga yang menjual tanah ke perusahaan, tidak ada juga pengukuran tanah oleh BPN untuk buat sertifikat," kata Dian.  
Perlakuan tidak adil, kriminalisasi, hingga pemaksaan secara paksa untuk mengosongkan tempat tinggal yang dialami oleh para nelayan di Pulau Pari ini memang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun di Casino Online
Edi, Dian, Boby, Mastono, hingga Bahrudin adalah segelintir dari sekian banyak nelayan kecil yang mendapat perlakuan semena-mena dari pihak penegak hukum mapun korporasi yang kini menduduki sebagian besar wilayah di salah satu pulau yang berada di kawasan Pulau Seribu itu.  
Kini, Boby pun hanya mampu menunggu kelanjutan dan kebaikan hati majelis hakim untuk pertaruhan nasibnya selama sembilan tahun ke depan. Hari ini ia dan dua rekannya akan menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.